Total Pageviews

Friday, February 8, 2013

RAHASIA HATI




RAHASIA HATI

Sebuah cerpen oleh : AgusPrihandono


            Malam ini aku mulai bisa tersenyum. Rasa percaya diriku tiba-tiba muncul kembali setelah beberapa waktu sirna. Kebekuan hati yang selama ini menghinggapi jiwaku mulai mencair. Karena ada sebuah kejadian kecil, mengusik perasaanku sore tadi. Tepatnya di halte bus dekat perempatan lampu merah terminal Kediri.
            Seperti biasa pulang dari kantor, aku naik sepeda motorku. Kendaraan inventaris kantor yang selama beberapa bulan ini menjadi tanggung jawabku. Selalu kubawa pulang ke kos-kosan. Hitung-hitung ngirit ongkos. Dan sebagai anak muda, aku selalu menyempatkan diri untuk cuci mata sepanjang jalan yang kulalui. Barangkali ada yang cocok di hati. Soalnya sampai usiaku yang kedua puluh empat ini, aku bahkan belum menemukan seorang gadis yang bisa kuajak berbagi rasa. Padahal hati ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Ada perasaan iri tiap kali melihat sepasang muda mudi yang bergandengan mesra di jalan atau berboncengan sambil bergurau. Sesuatu yang wajar karena akupun ingin seperti mereka. Bercanda, tertawa dan saling mencurahkan isi hati. Ada tempat menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hati. Dan yang penting, selalu ada acara di malam minggu. Tak hanya sekedar bengong di rumah, nonton acara televisi, atau nongkrong dengan teman senasib di gardu ronda ujung gang. Begadang sampai pagi.

            Di halte bus, aku melihat seorang gadis berdiri dengan anggunnya. Kulitnya putih bersih. Berdiri dengan tenang  sambil menyilangkan tangan di dada. Tas kerjanya tergantung di bahu kiri. Wajah bulat telornya mengingatkan aku pada seseorang. Aku menghentikan motor bututku di depan warung rokok di sebelah kanan halte. Membeli rokok dan menyalakannya sebatang. Sambil berjalan kembali ke arah motorku, aku memandangnya sekilas. Hanya sebentar saja. Tapi yang sebentar itu justru membuatku malu. Karena tanpa sengaja kakiku tersandung ujung trotoar. Teriakan kesakitanku membuatnya menoleh kaget ke arahku. Kali ini aku tahu ada lesung pipit di pipinya. Kulihat senyum samar di bibirnya yang mungil. Meski sambil menahan sakit di ujung jempolku,  kuberanikan diri untuk menyapanya.
            “Sedang menunggu angkutan kota, Mbak ?”
            Dia menoleh ke arahku. “Iya.” Katanya.
Sekarang aku tahu kalau suaranyapun merdu. Profil seorang gadis dewasa, hati-hati dan pandai berbasa-basi. Tidak langsung membuang muka bila disapa seseorang yang belum dikenalnya. Dan itu membuatku semakin berani.
“Mau kemana, Mbak ?”
“Pasar Bandar.” Katanya lagi. Kali ini sambil memandang di kejauhan. Dan akupun  tahu diri.
“Jam-jam begini agak susah lho cari angkutan kota.” Kataku sambil menstarter motor. “Saya jalan duluan, Mbak.”
Kali ini tiada jawaban. Hanya anggukan samar yang masih sempat kulihat saat aku meninggalkannya.

@@@

Wajah bulat telur yang kutemui kemarin sore terbayang lagi saat motorku melintas di halte dekat terminal. Aku menoleh ke arah halte, sepi tak ada orang. Si wajah bulat telur itu tak ada di sana. Namun bayangan wajahnya membuatku gelisah. Kejadian beberapa tahun yang lalu tiba-tiba terpampang dengan jelas di pelupuk mataku. Berputar bagaikan film dokumenter. Aku masih kelas satu di SMA negeri di kota asalku ketika seorang siswi pindahan masuk dan menjadi penghuni baru di kelasku. Pindahan dari sebuah SMA negeri di sebuah kota kecil yang berhawa dingin, Malang, Jawa Timur. Namanya Maharani. Dia pindah karena mengikuti orang tuanya yang dipindah tugaskan oleh kantornya ke kotaku. Wajahnya yang ayu dan sikapnya yang ramah pada siapapun segera menjadi perbincangan murid murid di sekolah. Tak terkecuali aku.   Dan seperti kumbang yang baru belajar terbang, diam-diam akupun belajar menerbangkan angan anganku. Ada kekaguman yang memenuhi kalbu saat melihatnya melintas di depanku. Ada debar aneh yang sulit diungkapkan dengan kata, saat aku mencuri pandang di sela sela pelajaran berlangsung. Aku selalu gelisah bila tahu dia tidak masuk kelas. Belajar menjadi kurang bersemangat. Lalu gelisah itu semakin hari semakin dalam kurasakan, hingga bara apinya terasa panas membakar hatiku. Aku tak tahan lagi menyimpan semuanya. Takut terbakar. Namun tiap kali ingin mengutarakan perasaanku, selalu ada rasa kawatir, ada rasa takut ditolak. Sampai suatu ketika, aku mendengar dia menjalin hubungan dengan seorang siswa kelas tiga, jagoan basket. Tampan dan menjadi idola banyak gadis cantik di sekolahku. Bara yang terlanjur menyala itu tiba-tiba padam, dingin, sedingin es. Pedih yang kurasakan. Dunia terasa sempit. Sebagai pelampiasannya, aku tulis di dinding kamarku :”Perempuan itu racun dunia”, dalam hurup steno, hingga hanya teman yang mengerti steno saja yang bisa membacanya. Hatiku kembali kosong melompong. Bengong lagi. Sampai suara bel yang keras menyeruak di telingaku. Aku tersentak. Masya Allah, lampu merah di perempatan sudah berubah hijau tanpa kusadari. Sambil menahan malu, aku segera tancap gas. Masih kudengar seruan, atau tepatnya makian sopir angkutan kota di belakangku. Aku terus menuju ke kantor paket kiriman kilat. Melaksanakan tugas kantor.

@@@


“Pak Budi ?” Suara Manager Pemasaran dari interphone di atas meja kerjaku membuatku kaget. Keasyikanku merekap pengiriman barang ke seluruh wilayah penjualan, terhenti sebentar. Agak malas kuangkat tombol interphone.
“Ya, Pak.”
“Harap kesini sebentar. Daftar order wilayah bulan ini, tolong dibawa sekalian.”
“Baik, Pak”
Manager Pemasaran di tempatku bekerja ini masih terbilang sangat muda. Mungkin umurnya di atasku sedikit. Penampilannya bisa dikatakan sederhana, tentu saja sebenarnya kurang sesuai untuk jabatan setingkat Manager. Yang saya tahu, beliau ini dulunya sales area wilayah di ujung Sumatera sana. Untuk urusan negosiasi penjualan, beliau ini jago sekali. Selama beberapa tahun, wilayah yang dipegangnya sempat menjadi “the best sales area” dengan penjualan yang selalu melampau target perusahaan. Kemudian mengingat prestasinya yang bagus, maka Bapak Direktur menariknya ke kantor pusat dan diberi jabatan yang sekarang. Sebagai manager Pemasaran dan sekaligus sebagai atasanku di kantor.
Beliau tersenyum ketika melihat aku masuk ruangannya.
“Silahkan duduk, Pak Budi.” 
“Terima kasih.”
Saya menyerahkan daftar yang diminta. Setelah membuka-buka sebentar, beliau memandangku.
“Ini lho, Pak Budi. Sebentar lagi kan ada pengiriman ke Medan. Jumlahnya lebih banyak dari biasanya. Sedangkan semua truk perusahaan sedang dipakai mengirim barang ke wilayah. Tak ada satupun yang tersisa di kantor. Pak Budi mungkin punya informasi armada truk luar yang bisa kita pakai ?”
“Ada, Pak. Saya bisa menghubunginya kalau diperlukan. Cuma masalahnya saat ini saya belum tahu armada truknya ada yang sedang kosong apa enggak.”   
“Hubungi saja. Kalau perlu cari armada truk yang lain. Kita memerlukannya empat buah truk untuk minggu ini. Tolong dinegosiasi, Cari yang paling kompetitif, kalau bisa usahakan pembayaran dengan BG mundur 2 minggu. ”
“Ya, Pak.”
Kembali ke ruanganku. Mencari nomor telepon armada truk yang biasa aku hubungi di buku telepon. Kemudian memijit enam digit nomor telepon. Kudengar suara merdu seorang wanita dari seberang sana. Bukan suara laki-laki yang biasanya kudengar. Aku melihat kembali nomor yang telah kupencet. Tak ada kesalahan. Ah, mungkin karyawan baru, pikirku. Truknya memang ada dan bisa dipakai, tapi belum bisa negosiasi  karena pemilik perusahaan angkutannya sedang pergi keluar kota. Baru bisa dihubungi nanti sore. Aku tutup telepon. Kemudian kucoba menghubungi armada truk yang lain. Hampir semuanya mengatakan truknya sedang kosong karena dipakai mengirim barang ke luar kota. Aku menghubungi lagi armada truk yang tadi telah kutelpon. Lagi-lagi suara merdu itu yang menjawab. Memastikan order  empat truk dan akan menghubungi lagi nanti sore. Setelah melaporkan hasilnya kepada bapak manager pemasaran, akupun kembali menghadapi  komputer. Ada yang harus dikerjakan. Bapak Direktur meminta laporan Rekapitulasi total pengiriman barang ke seluruh wilayah selama bulan ini.

@@@

Aku merenggangkan jari jemariku. Udara yang keluar dari AC di ruangan terasa sangat dingin sekali. Aku melihat jam yang tergantung di dinding kantor. Wow, pantas begitu dingin. Ternyata sore sudah menjelang. Sebentar lagi waktunya pulang. Suara intercom yang tiba-tiba berbunyi agak mengagetkanku. Dari Pak Mujiono, petugas Satpam di kantor depan.
“Pak Budi, ada yang mencari. Karyawan perusahaan angkutan.”
“Lho ada apa, Pak ?”
“Katanya mau ketemu. Masalah biaya angkutan yang kita pakai seminggu yang lalu.”
“Lho, kenapa nggak langsung bagian keuangan saja, Pak ?”
“Ada meeting di ruangan Direktur, semua staf keuangan ada di sana. Saya nggak berani telpon ke sana.”
Aku berpikir sebentar.
 “Baik, Pak. Saya akan kesana.”
Dan aku tertegun. Jadi ini si pemilik suara merdu perusahaan angkutan yang aku telpon beberapa hari yang lalu. Si pemilik wajah bulat telur yang sempat membuatku terpana di perempatan lampu merah samping halte bus dekat terminal kediri. Ada desir halus di dadaku. Aku mencoba menenangkan diri.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak ?”
Ada wajah kaget ketika si pemilik wajah bulat telor itu melihatku. 
“Ini lho, Pak ...”
“Budi..” Aku menyela kata-katanya. “Dan kita pernah ketemu di perempatan lampu merah dekat halte bus beberapa waktu yang lalu.”
“Oh, ya…ya. Maaf saya lupa.” Ada senyum malu di sudut bibirnya yang mungil.
“Nggak apa-apa, Mbak.”
 Ini lho Pak Budi. Saya kesini menyerahkan DO angkutan barang perusahaan bapak yang kami kirim seminggu yang lalu. Sekalian mau mengambil tagihannya. Kalau bisa saya bawa sekarang.”
Aku melihat sepasang mata yang bening. Dan berbinar. Menandakan pemiliknya adalah seorang yang tegas dan cerdas. Bukan mata yang redup, licik  atau tampak kurang percaya diri.
“Wah bagaimana ya, Mbak.....”
“......Rani.” Dia menyebutkan namanya dengan cepat.
Aku kaget. Kenapa kok bisa sama sih namanya dengan masa laluku ?
“Maaf, Mbak Rani. Kebetulan staf keuangan ada meeting dengan direktur sore ini. Acara mendadak. Jadi saya nggak mungkin mengusahakan BG pembayarannya saat ini. Misalnya ditunda besok pagi bisa nggak ?”
Dia terdiam. Dan seperti tahu apa yang sedang  dia pikirkan, aku mencoba memberinya alternatif.
“Kalau mbak Rani nggak enak sama kantor, biar saya yang menghubungi atasan mbak tentang masalah ini. Saya sudah kenal baik kok dengan beliau.”
Rani tersenyum. “Tidak usah, pak Budi. Biar saya sendiri nanti yang menjelaskan ke kantor. Jangan lupa jumlahnya tolong disesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya.”
“Oke, jangan khawatir. DO-nya ditinggal aja di sini, kalau perlu biar besok saya antar BG-nya ke tempat mbak.”
“Terima kasih, pak  Budi.”
Aku mengangguk. Beberapa saat kemudian dia pamit terus keluar dan menghilang di balik pintu kantor. Tapi masih ada yang tersisa di pelupuk mataku. Goyangan pinggulnya begitu gemulai. Cara berjalannya seperti bidadari yang turun dari kayangan dan mau mandi di telaga. 
“Cantik ya, Pak ? Cocok lho sama Pak Budi.” Suara Pak Mujiono mengagetkanku.
“Ah, bapak bisa aja. Siapa tahu anaknya sudah lima.” Kataku acuh.
Pak Mujiono tertawa. “Kalau yang seperti itu, meski anaknya sudah selusin saya tetap mau, Pak.”
Aku ikut tertawa. “Ya, sudah. Saya mau terus pulang pak.” 
Pak Mujiono menyodorkan buku hadir yang harus  aku tanda tangani. Sekarang waktunya pulang. Dan istirahat. Dan mandi. Dan Mengguyur diri dengan air sumur yang segar untuk menghilangkan segala keruwetan.    
@@@

Pertemuan yang ketiga saat mengantar BG ke kantornya, belum membawa kesan yang mendalam bagi kami. Namun dengan makin seringnya hubungan lewat telepon saat order truk kiriman barang, atau telepon iseng saat jam jam istirahat, semakin mengakrabkan hubungan kami.  Canda atau godaan yang aku lontarkan saat berbicara di telepon semakin membuatku berani. Berani mengajaknya untuk bertemu di luar kantor. Awalnya hanya saat pulang kerja. Dan itupun hanya pada hari hari biasa. Namun setelah tahu ternyata dia masih sendiri, aku mulai memberanikan diri  untuk mengajaknya bertemu di saat malam minggu. Dan ternyata aku beruntung. Dia mengiyakan saja saat aku pingin ketemu di saat malam minggu. Aku merasakan ada getar pada suaranya saat menjawab ajakanku. Aku bersorak dalam hati. Semoga tebakanku tidak keliru. Aku bahkan yakin kalau dia juga mengharapkan hal yang sama denganku.
Lesung pipitnya merekah menyambutku saat aku datang ke rumahnya malam itu. Hatiku berdebar melihat penampilannya malam itu. Tidak seperti biasanya. Aku membayangkan beberapa ratus kali dia mematut matut diri di depan kaca.
“Lo, kok bengong. Ayo masuk, Mas.”
Aku terkejut. Agak malu atas kebodohanku.
“Ah, enggak kok. Cuma heran. Kok ada bidadari di sini.”
“Ah mas bisa saja. Merayu, nih ?” Ada bias merah membayang di  pipinya yang putih. “Atau meledek kali. Penampilanku kurang bagus ya, Mas ?”
Ganti aku yang kelabakan. Kegugupanku menyebabkan sesuatu yang fatal. Aku melangkah terlalu ke pinggir tangga. Dan yang terjadi adalah kakiku terpeleset. Aku terjatuh, dan meskipun tidak keras, akhirnya kepalaku terbentur pegangan tangga. Aku mengaduh. Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan. Tapi yang kudapati adalah lantai kantorku yang dingin. Aku telah tertidur dan bermimpi di siang bolong..... Masih sambil mengusap keningku yang terbentur meja kantor karena terjatuh.... aku mencoba berdiri..... 

Ah.... andai semuanya bukan mimpi........


Agus Prihandono
 

No comments:

Post a Comment