RAHASIA HATI
Sebuah cerpen oleh : AgusPrihandono
Malam ini
aku mulai bisa tersenyum. Rasa percaya diriku tiba-tiba muncul kembali setelah
beberapa waktu sirna. Kebekuan hati yang selama ini menghinggapi jiwaku mulai
mencair. Karena ada sebuah kejadian kecil, mengusik perasaanku sore tadi.
Tepatnya di halte bus dekat perempatan lampu merah terminal Kediri.
Seperti
biasa pulang dari kantor, aku naik sepeda motorku. Kendaraan inventaris kantor
yang selama beberapa bulan ini menjadi tanggung jawabku. Selalu kubawa pulang
ke kos-kosan. Hitung-hitung ngirit ongkos. Dan sebagai anak muda, aku selalu
menyempatkan diri untuk cuci mata sepanjang jalan yang kulalui. Barangkali ada
yang cocok di hati. Soalnya sampai usiaku yang kedua puluh empat ini, aku
bahkan belum menemukan seorang gadis yang bisa kuajak berbagi rasa. Padahal
hati ini sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Ada perasaan iri tiap kali melihat sepasang
muda mudi yang bergandengan mesra di jalan atau berboncengan sambil bergurau.
Sesuatu yang wajar karena akupun ingin seperti mereka. Bercanda, tertawa dan
saling mencurahkan isi hati. Ada
tempat menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hati. Dan yang penting, selalu
ada acara di malam minggu. Tak hanya sekedar bengong di rumah, nonton acara
televisi, atau nongkrong dengan teman senasib di gardu ronda ujung gang.
Begadang sampai pagi.
Di
halte bus, aku melihat seorang gadis berdiri dengan anggunnya. Kulitnya putih
bersih. Berdiri dengan tenang sambil
menyilangkan tangan di dada. Tas kerjanya tergantung di bahu kiri. Wajah bulat
telornya mengingatkan aku pada seseorang. Aku menghentikan motor bututku di
depan warung rokok di sebelah kanan halte. Membeli rokok dan menyalakannya
sebatang. Sambil berjalan kembali ke arah motorku, aku memandangnya sekilas.
Hanya sebentar saja. Tapi yang sebentar itu justru membuatku malu. Karena tanpa
sengaja kakiku tersandung ujung trotoar. Teriakan kesakitanku membuatnya
menoleh kaget ke arahku. Kali ini aku tahu ada lesung pipit di pipinya. Kulihat
senyum samar di bibirnya yang mungil. Meski sambil menahan sakit di ujung
jempolku, kuberanikan diri untuk
menyapanya.
“Sedang
menunggu angkutan kota,
Mbak ?”
Dia
menoleh ke arahku. “Iya.” Katanya.
Sekarang aku
tahu kalau suaranyapun merdu. Profil seorang gadis dewasa, hati-hati dan pandai
berbasa-basi. Tidak langsung membuang muka bila disapa seseorang yang belum
dikenalnya. Dan itu membuatku semakin berani.
“Mau kemana,
Mbak ?”
“Pasar Bandar.”
Katanya lagi. Kali ini sambil memandang di kejauhan. Dan akupun tahu diri.
“Jam-jam begini
agak susah lho cari angkutan kota.”
Kataku sambil menstarter motor. “Saya jalan duluan, Mbak.”
Kali ini tiada
jawaban. Hanya anggukan samar yang masih sempat kulihat saat aku
meninggalkannya.
@@@
Wajah bulat
telur yang kutemui kemarin sore terbayang lagi saat motorku melintas di halte
dekat terminal. Aku menoleh ke arah halte, sepi tak ada orang. Si wajah bulat
telur itu tak ada di sana.
Namun bayangan wajahnya membuatku gelisah. Kejadian beberapa tahun yang lalu
tiba-tiba terpampang dengan jelas di pelupuk mataku. Berputar bagaikan film
dokumenter. Aku masih kelas satu di SMA negeri di kota asalku ketika seorang siswi pindahan
masuk dan menjadi penghuni baru di kelasku. Pindahan dari sebuah SMA negeri di
sebuah kota kecil yang berhawa dingin, Malang, Jawa Timur.
Namanya Maharani. Dia pindah karena mengikuti orang tuanya yang dipindah
tugaskan oleh kantornya ke kotaku. Wajahnya yang ayu dan sikapnya yang ramah
pada siapapun segera menjadi perbincangan murid murid di sekolah. Tak
terkecuali aku. Dan seperti kumbang
yang baru belajar terbang, diam-diam akupun belajar menerbangkan angan anganku.
Ada kekaguman
yang memenuhi kalbu saat melihatnya melintas di depanku. Ada debar aneh yang sulit diungkapkan dengan
kata, saat aku mencuri pandang di sela sela pelajaran berlangsung. Aku selalu
gelisah bila tahu dia tidak masuk kelas. Belajar menjadi kurang bersemangat.
Lalu gelisah itu semakin hari semakin dalam kurasakan, hingga bara apinya
terasa panas membakar hatiku. Aku tak tahan lagi menyimpan semuanya. Takut terbakar.
Namun tiap kali ingin mengutarakan perasaanku, selalu ada rasa kawatir, ada
rasa takut ditolak. Sampai suatu ketika, aku mendengar dia menjalin hubungan
dengan seorang siswa kelas tiga, jagoan basket. Tampan dan menjadi idola banyak
gadis cantik di sekolahku. Bara yang terlanjur menyala itu tiba-tiba padam,
dingin, sedingin es. Pedih yang kurasakan. Dunia terasa sempit. Sebagai
pelampiasannya, aku tulis di dinding kamarku :”Perempuan itu racun dunia”,
dalam hurup steno, hingga hanya teman yang mengerti steno saja yang bisa
membacanya. Hatiku kembali kosong melompong. Bengong lagi. Sampai suara bel
yang keras menyeruak di telingaku. Aku tersentak. Masya Allah, lampu merah di
perempatan sudah berubah hijau tanpa kusadari. Sambil menahan malu, aku segera
tancap gas. Masih kudengar seruan, atau tepatnya makian sopir angkutan kota di belakangku. Aku
terus menuju ke kantor paket kiriman kilat. Melaksanakan tugas kantor.
@@@
“Pak Budi ?”
Suara Manager Pemasaran dari interphone di atas meja kerjaku membuatku kaget.
Keasyikanku merekap pengiriman barang ke seluruh wilayah penjualan, terhenti
sebentar. Agak malas kuangkat tombol interphone.
“Ya, Pak.”
“Harap kesini
sebentar. Daftar order wilayah bulan ini, tolong dibawa sekalian.”
“Baik, Pak”
Manager Pemasaran
di tempatku bekerja ini masih terbilang sangat muda. Mungkin umurnya di atasku
sedikit. Penampilannya bisa dikatakan sederhana, tentu saja sebenarnya kurang
sesuai untuk jabatan setingkat Manager. Yang saya tahu, beliau ini dulunya
sales area wilayah di ujung Sumatera sana.
Untuk urusan negosiasi penjualan, beliau ini jago sekali. Selama beberapa
tahun, wilayah yang dipegangnya sempat menjadi “the best sales area” dengan
penjualan yang selalu melampau target perusahaan. Kemudian mengingat
prestasinya yang bagus, maka Bapak Direktur menariknya ke kantor pusat dan
diberi jabatan yang sekarang. Sebagai manager Pemasaran dan sekaligus sebagai
atasanku di kantor.
Beliau tersenyum
ketika melihat aku masuk ruangannya.
“Silahkan duduk,
Pak Budi.”
“Terima kasih.”
Saya menyerahkan
daftar yang diminta. Setelah membuka-buka sebentar, beliau memandangku.
“Ini lho, Pak
Budi. Sebentar lagi kan ada pengiriman ke Medan. Jumlahnya lebih
banyak dari biasanya. Sedangkan semua truk perusahaan sedang dipakai mengirim
barang ke wilayah. Tak ada satupun yang tersisa di kantor. Pak Budi mungkin
punya informasi armada truk luar yang bisa kita pakai ?”
“Ada, Pak. Saya bisa
menghubunginya kalau diperlukan. Cuma masalahnya saat ini saya belum tahu
armada truknya ada yang sedang kosong apa enggak.”
“Hubungi saja.
Kalau perlu cari armada truk yang lain. Kita memerlukannya empat buah truk
untuk minggu ini. Tolong dinegosiasi, Cari yang paling kompetitif, kalau bisa
usahakan pembayaran dengan BG mundur 2 minggu. ”
“Ya, Pak.”
Kembali ke
ruanganku. Mencari nomor telepon armada truk yang biasa aku hubungi di buku
telepon. Kemudian memijit enam digit nomor telepon. Kudengar suara merdu
seorang wanita dari seberang sana.
Bukan suara laki-laki yang biasanya kudengar. Aku melihat kembali nomor yang
telah kupencet. Tak ada kesalahan. Ah, mungkin karyawan baru, pikirku. Truknya
memang ada dan bisa dipakai, tapi belum bisa negosiasi karena pemilik perusahaan angkutannya sedang
pergi keluar kota.
Baru bisa dihubungi nanti sore. Aku tutup telepon. Kemudian kucoba menghubungi
armada truk yang lain. Hampir semuanya mengatakan truknya sedang kosong karena
dipakai mengirim barang ke luar kota.
Aku menghubungi lagi armada truk yang tadi telah kutelpon. Lagi-lagi suara
merdu itu yang menjawab. Memastikan order
empat truk dan akan menghubungi lagi nanti sore. Setelah melaporkan
hasilnya kepada bapak manager pemasaran, akupun kembali menghadapi komputer. Ada yang harus dikerjakan. Bapak Direktur
meminta laporan Rekapitulasi total pengiriman barang ke seluruh wilayah selama
bulan ini.
@@@
Aku
merenggangkan jari jemariku. Udara yang keluar dari AC di ruangan terasa sangat
dingin sekali. Aku melihat jam yang tergantung di dinding kantor. Wow, pantas
begitu dingin. Ternyata sore sudah menjelang. Sebentar lagi waktunya pulang.
Suara intercom yang tiba-tiba berbunyi agak mengagetkanku. Dari Pak Mujiono,
petugas Satpam di kantor depan.
“Pak Budi, ada
yang mencari. Karyawan perusahaan angkutan.”
“Lho ada apa,
Pak ?”
“Katanya mau
ketemu. Masalah biaya angkutan yang kita pakai seminggu yang lalu.”
“Lho, kenapa
nggak langsung bagian keuangan saja, Pak ?”
“Ada meeting di ruangan Direktur, semua staf keuangan ada
di sana. Saya
nggak berani telpon ke sana.”
Aku berpikir
sebentar.
“Baik, Pak. Saya akan kesana.”
Dan aku
tertegun. Jadi ini si pemilik suara merdu perusahaan angkutan yang aku telpon
beberapa hari yang lalu. Si pemilik wajah bulat telur yang sempat membuatku
terpana di perempatan lampu merah samping halte bus dekat terminal kediri. Ada desir halus di dadaku. Aku mencoba
menenangkan diri.
“Ada yang bisa saya bantu,
Mbak ?”
Ada wajah kaget ketika si
pemilik wajah bulat telor itu melihatku.
“Ini lho, Pak
...”
“Budi..” Aku
menyela kata-katanya. “Dan kita pernah ketemu di perempatan lampu merah dekat
halte bus beberapa waktu yang lalu.”
“Oh, ya…ya. Maaf
saya lupa.” Ada
senyum malu di sudut bibirnya yang mungil.
“Nggak apa-apa,
Mbak.”
Ini lho Pak Budi. Saya kesini menyerahkan DO
angkutan barang perusahaan bapak yang kami kirim seminggu yang lalu. Sekalian
mau mengambil tagihannya. Kalau bisa saya bawa sekarang.”
Aku melihat
sepasang mata yang bening. Dan berbinar. Menandakan pemiliknya adalah seorang
yang tegas dan cerdas. Bukan mata yang redup, licik atau tampak kurang percaya diri.
“Wah bagaimana
ya, Mbak.....”
“......Rani.”
Dia menyebutkan namanya dengan cepat.
Aku kaget.
Kenapa kok bisa sama sih namanya dengan masa laluku ?
“Maaf, Mbak
Rani. Kebetulan staf keuangan ada meeting dengan direktur sore ini. Acara
mendadak. Jadi saya nggak mungkin mengusahakan BG pembayarannya saat ini.
Misalnya ditunda besok pagi bisa nggak ?”
Dia terdiam. Dan
seperti tahu apa yang sedang dia pikirkan,
aku mencoba memberinya alternatif.
“Kalau mbak Rani
nggak enak sama kantor, biar saya yang menghubungi atasan mbak tentang masalah
ini. Saya sudah kenal baik kok dengan beliau.”
Rani tersenyum.
“Tidak usah, pak Budi. Biar saya sendiri nanti yang menjelaskan ke kantor.
Jangan lupa jumlahnya tolong disesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya.”
“Oke, jangan
khawatir. DO-nya ditinggal aja di sini, kalau perlu biar besok saya antar
BG-nya ke tempat mbak.”
“Terima kasih,
pak Budi.”
Aku mengangguk.
Beberapa saat kemudian dia pamit terus keluar dan menghilang di balik pintu
kantor. Tapi masih ada yang tersisa di pelupuk mataku. Goyangan pinggulnya
begitu gemulai. Cara berjalannya seperti bidadari yang turun dari kayangan dan
mau mandi di telaga.
“Cantik ya, Pak
? Cocok lho sama Pak Budi.” Suara Pak Mujiono mengagetkanku.
“Ah, bapak bisa
aja. Siapa tahu anaknya sudah lima.”
Kataku acuh.
Pak Mujiono
tertawa. “Kalau yang seperti itu, meski anaknya sudah selusin saya tetap mau,
Pak.”
Aku ikut
tertawa. “Ya, sudah. Saya mau terus pulang pak.”
Pak Mujiono
menyodorkan buku hadir yang harus aku
tanda tangani. Sekarang waktunya pulang. Dan istirahat. Dan mandi. Dan
Mengguyur diri dengan air sumur yang segar untuk menghilangkan segala
keruwetan.
@@@
Pertemuan yang ketiga
saat mengantar BG ke kantornya, belum membawa kesan yang mendalam bagi kami.
Namun dengan makin seringnya hubungan lewat telepon saat order truk kiriman
barang, atau telepon iseng saat jam jam istirahat, semakin mengakrabkan
hubungan kami. Canda atau godaan yang
aku lontarkan saat berbicara di telepon semakin membuatku berani. Berani
mengajaknya untuk bertemu di luar kantor. Awalnya hanya saat pulang kerja. Dan
itupun hanya pada hari hari biasa. Namun setelah tahu ternyata dia masih
sendiri, aku mulai memberanikan diri
untuk mengajaknya bertemu di saat malam minggu. Dan ternyata aku
beruntung. Dia mengiyakan saja saat aku pingin ketemu di saat malam minggu. Aku
merasakan ada getar pada suaranya saat menjawab ajakanku. Aku bersorak dalam
hati. Semoga tebakanku tidak keliru. Aku bahkan yakin kalau dia juga mengharapkan
hal yang sama denganku.
Lesung pipitnya
merekah menyambutku saat aku datang ke rumahnya malam itu. Hatiku berdebar
melihat penampilannya malam itu. Tidak seperti biasanya. Aku membayangkan
beberapa ratus kali dia mematut matut diri di depan kaca.
“Lo, kok
bengong. Ayo masuk, Mas.”
Aku terkejut.
Agak malu atas kebodohanku.
“Ah, enggak kok.
Cuma heran. Kok ada bidadari di sini.”
“Ah mas bisa
saja. Merayu, nih ?” Ada
bias merah membayang di pipinya yang
putih. “Atau meledek kali. Penampilanku kurang bagus ya, Mas ?”
Ganti aku yang
kelabakan. Kegugupanku menyebabkan sesuatu yang fatal. Aku melangkah terlalu ke pinggir tangga. Dan yang terjadi adalah kakiku terpeleset. Aku terjatuh, dan meskipun tidak keras, akhirnya kepalaku terbentur pegangan tangga. Aku mengaduh. Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan. Tapi yang kudapati adalah lantai kantorku yang dingin. Aku telah tertidur dan bermimpi di siang bolong..... Masih sambil mengusap keningku yang terbentur meja kantor karena terjatuh.... aku mencoba berdiri.....
Ah.... andai semuanya bukan mimpi........
Ah.... andai semuanya bukan mimpi........
Agus Prihandono
No comments:
Post a Comment