Total Pageviews

Wednesday, May 9, 2012

HANCURNYA KEKUATAN MISTIK ( SEBUAH CERPEN )


HANCURNYA KEKUATAN MISTIK
Cerpen : Agus Prihandono



Malam baru saja menjelang, warna memerah di ufuk barat seakan menandakan bahwa hari tak lagi siang. Sebuah fatamorgana membayang di balik kumpulan pepohonan yang rimbun. Memberkaskan sebentuk siluet yang begitu indah. Suara lolongan anjing sayup sayup di kejauhan, menebarkan aroma mistik di sekitarnya. Hawa dingin menusuk tulang, membuatku tanpa sengaja mengepalkan jari-jari mengusir hawa dingin yang menyeruak masuk, menembus ke dalam bajuku. Ada sejumput kekuatiran dalam hatiku bila kedatanganku ke desa terpencil ini diketahui banyak orang, terutama orang yang mengenalku. Aku tak ingin rencana ini diketahui. Masih kuingat dengan jelas petunjuk mbah Joyo tentang tempat yang harus  aku datangi.


Setelah beberapa kali menyibakkan ilalang yang menutupi jalan setapak yang harus kulalui, akhirnya pondok yang kucari kelihatan juga. Sebuah rumah yang tampak menyeramkan, Bangunan tua dengan halaman luas yang ditumbuhi ilalang di sana-sini. Aku ragu, mungkinkah tempat seperti itu ada penghuninya, dinding batunya kelihatan kumuh dibeberapa bagian. Aku mendekati pintunya yang kecoklatan di beberapa bagian termakan usia. Ada sarang laba-laba di sana-sini. Aku terkejut ketika seekor kucing berwarna hitam tiba-tiba muncul dari samping rumah dan berlari di depanku. Tanpa suara. Pandangan tajam yang sekilas menatapku membuatku bergidik ngeri. Aku merasakan adanya ancaman di balik kilatan matanya.

            Setelah menguatkan diri sejenak, aku mengetuk pintu di depanku. Sekali tiada jawaban, baru ketukan yang kedua dan agak keras, aku  mendapatkan sahutan dari dalam. Suara serak dan berat.
            “Siapa ?”
            “Suroto dari kota, mbah.”
            “Hmm ….. masuk dan tutup lagi pintunya.”
            Begitu pintu terbuka, asap kemenyan dan bau dupa terasa menusuk hidungku. Begitu menyesakkan. Aku melihat seorang kakek tua berumur sekitar delapan puluhan tahun, duduk di depan tungku kecil yang penuh dengan arang yang membara. Ada keris yang tergeletak di sisi kanan meja. Kalung yang besar dengan bandul kecil yang menyerupai tengkorak manusia tergantung di lehernya.
Kelihatannya mbah Dipo sedang melaksanakan sesuatu. Aku melihat mbah Dipo memutar tangannya di atas dupa yang membara sambil mengeluarkan kata-kata yang tak bisa kumengerti, setelah beberapa saat dengan cepat tangan kanannya menyambar keris yang berada di depannya, kemudian ditancapkan ke sebuah boneka kecil yang berada di genggaman tangan kirinya. Ada darah menetes dari luka di tempat tusukan keris padahal aku yakin itu hanya boneka dari kain. Darah yang begitu hitam dan kental. Aku bergidik ngeri. Sepertinya boneka itu  melawan, bergerak seperti orang yang sedang melepaskan diri dari beban berat yang menindihnya. Setelah beberapa saat kemudian boneka itu diam tak bergerak. Suasana sepi. Dan mati. Ada kelelahan yang tampak di raut wajah mbah Dipo. Aku yakin mbah Dipo baru saja melakukan pertarungan mistis yang berat.  Mulutnya komat-kamit sebentar lalu menghembuskan nafas berat. Sambil menyeka keringat yang bercucuran dari keningnya, mbah Dipo memandangku.
            Ada perlu apa nak Suroto datang ke sini ?”
            “Anu mbah… mau minta tolong.”
            “Apa yang bisa aku bantu nak Suroto ?”
            Aku menjelaskan permasalahan yang sedang kuhadapi kepada mbah Dipo. Mbah Dipo mengangguk sambil memandang tajam ke arahku.
            “Resikonya berat lho, nak Suroto ?”
            “Tak perduli, mbah, yang penting dendam keluarga ini terbalaskan.”
            Mbah Dipo sekali lagi memandangku. Sesekali terdengar helaan nafas panjang dan berat.
            “Konsekuensinya berat lho, berat bagi nak Suroto dan juga berat bagi aku sendiri. Soalnya kalau ternyata orang yang nak Suroto ceritakan mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari aku, maka kirimannya bisa kembali dan menghantam aku sendiri. Dan kalau ternyata aku nggak kuat, maka .. ” Mbah Dipo menghela nafas berat. Tanpa menyelesaikan ucapannya.
“Aku yakin mbah Dipo mampu menghadapinya.“
Mbah Dipo menatapku. Pandangan menyelidik.
“Baiklah, kita lakukan karena mbah, pantang menolak permintaan.”
Aku menarik nafas lega. Buntalan yang sudah aku siapkan dari rumah aku keluarkan. Sesuai pesan mbah Joyo kemarin dan aku berikan kepada mbah Dipo.
“Mbah, ini ubo rampenya.”
“Taruh di atas meja.”
Aku meletakkan buntalan yang aku bawa ke atas meja, termasuk sebuah foto yang aku gunting dari majalah.
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya. Mbah Dipo memejamkan mata. Aku melihat tangannya bergetar. Sambil memandang foto yang aku berikan, Mbah Dipo menambahkan menyan ke dalam tungku. Asapnya begitu putih, bergulung gulung, menebar aroma wangi. Menyesakkan. Aku melihat meja di depan mbah Dipo bergetar, hawa panas terasa menyebar di seluruh ruangan, hingga tanpa sadar aku mengusap leherku yang berkeringat. Mbah Dipo mengucapkan suatu bahasa yang tak kumengerti,  memutar tangan kanannya berkali-kali di udara, mengacungkan jari-jari kedua tangannya ke atas, dan dengan cepat mencabut keris yang tertancap di meja, memutarnya beberapa kali searah jarum jam di atas asap kemenyan. Ada keringat yang menetes dari kening mbah Dipo. Tangan kiri meraih boneka kecil yang ada di atas meja sebelah kirinya. Menggenggamnya dengan erat seolah tak ingin terlepas. Mulut mbah Dipo semakin keras mengucapkan mantera-mantera, lalu perlahan keris di tangan kanannya di arahkan ke boneka di genggaman tangan kirinya. Kali ini di ubun-ubun. Aku melihat kilatan berwarna merah di ujung keris. Semakin merah. Seperti terbakar. Aku bergidik ngeri ketika dari ubun-ubun boneka keluar asap putih pekat saat ujung keris semakin menusuk semakin dalam. Udara semakin panas, lalu perlahan kembali dingin, semakin dingin, semakin dingin menusuk tulang. Anehnya kening mbah Dipo tampak mengucurkan keringat. Keringat darah, merah dan semakin merah. Aku memejamkan mata, tak tahan menyaksikan kejadian itu. Dan baru membuka mataku saat kudengar suara suitan melengking bersama desisan aneh. Kemudian seperti suara benda keras terjatuh. Mataku terbelalak menyaksikan pemandangan di depanku. Mbah Dipo terjatuh di atas lantai dengan mulut menganga dan mata membelalak seakan tak percaya apa yang sedang menimpanya. Sebatang keris yang tadi digunakannya untuk ritual, tertancap tepat di jantungnya. Ada darah mengalir dari lukanya. Yang membuatku ngeri, warna darahnya bukan merah tetapi hitam. Hitam kelam. Sedangkan boneka yang tadi ditusuknya tergeletak di meja. Tak ada tanda bekas tusukan keris di kepalanya seperti yang kusaksikan tadi. Bersih tak ada bekas apa-apa.
Aku segera membereskan perlengkapanku. Lalu dengan diam-diam pergi meninggalkan tempat mbah Dipo. Masih sempat kulihat kucing hitam yang tadi. Kali ini hanya suara lirih yang keluar dari mulutnya. Dan seperti kedatanganku yang diam-diam, maka kepulanganku saat ini juga kuusahakan tidak ada yang tahu.

@@@

Jam beker di kamarku berdering tepat jam empat. Sayup sayup suara adzan subuh kudengar masuk ke telingaku. Suaranya begitu sahdu. Dan terasa indah memasuki relung-relung dadaku. Aku menggeliat, ada kelegaan dalam hatiku. Aku melihat lembar catatan di atas mejaku. Banyak nama-nama yang tertulis di dalamnya. Nama-nama dukun yang kukumpulkan selama beberapa waktu, kalau nggak salah sekitar 3 tahun. Agak sulit mengumpulkan data itu, karena banyak sekali dukun-dukun yang tidak terus terang mengakui kalau dia mengikuti aliran hitam. Mereka tidak mau kalau disebut sebagai pemuja setan. Kepada pelanggannya, mereka mengaku hanyalah paranormal. Atau apalah yang penting bukan dukun. Kalau kurang yakin dengan informasi yang kudapat, aku kadang menyurati mereka. Atau kalau tak terlalu jauh, aku mencoba mencari tahu sendiri dengan mendatangi rumahnya. Dari jawaban mereka atau hasil pengamatanku, baru kuputuskan, dukun ini termasuk golongan putih atau hitam. Sampai sekarang masih ada beberapa data yang belum kuputuskan, mereka termasuk golongan yang mana.
Diantara nama-nama itu ada yang telah aku coret. Coretan merah. Termasuk nama mbah Dipo. Sebagai tanda kalau dukun itu sudah tidak ada lagi. Aku menghela nafas panjang. Masih banyak yang harus aku lakukan. Begitu banyak nama yang masih belum tercoret. Datanya masih acak-acakan. Aku agak kesulitan dalam mengurutkan nama-nama dukun dari yang paling lemah sampai ke yang paling sakti. Sebenarnya tanpa aku urutkan, aku sudah bisa melaksanakan rencanaku. Dengan cara mengacak nomor urut berdasarkan tempat tinggalnya, diselang seling dari yang jauh sampai yang terdekat, untuk mengurangi kecurigaan mereka. Layaknya sebuah kompetisi, aku tinggal mengadu kekuatan dari dukun dari nomer urut satu dengan nomer dua, kemudian yang bertahan masuk ke babak berikutnya, dukun nomer tiga diadu dengan nomer empat, pemenangnya masuk babak berikutnya. Begitu dan seterusnya sampai nanti tinggal  empat dukun yang masuk pertarungan akhir. Kemudian tinggal satu sebagai pemenang terakhir. Masalahnya nanti adalah siapa yang akan membinasakan dukun yang jadi pemenang kompetisi ini. Tapi aku tak perduli, keinginanku untuk mengurangi kemusrikan mengalahkan segalanya. Apapun caranya.

@@@

Rumah itu sangat sederhana. Amat sangat sederhana. Hanya sebuah rumah kecil dengan taman-taman yang asri di sekelilingnya. Keadaan ini membuatku ragu. Dukun atau paranormal yang tinggal di gunung atau pedesaan, seperti mbah Dipo, biasanya mempunyai rumah besar yang menyeramkan atau terisolir dari tetangganya. Mungkin hanya pengakuan atas kesaktian atau rasa takut yang diinginkan dari lingkungannya. Tapi dukun atau paranormal yang tinggal di kota, biasanya mempunyai rumah yang mewah dengan beberapa kendaraan di garasinya. Pagar tinggi dengan halaman luas. Bahkan ada yang sampai masuk acara televisi. Tapi persamaan antara dukun yang tinggal di pedesaan atau di kota adalah mereka mempunyai  penampilan atau nama julukan yang aneh. Dukun yang kudatangi kali ini adalah salah satu diantara dukun yang masih harus kuselidiki dulu datanya. Termasuk dukun putih atau hitam. Pemuja setan atau sekedar dukun bohong-bohongan.   
Aku memencet bel yang ada di sisi kanan pintu. Masih sempat kubaca nama yang tertera di atas pintu masuk. Aku yakin aku tak salah tujuan.
Seorang gadis kecil membuka pintu. “Mencari siapa ?”
“Bapak ada ?” Tanyaku sambil tersenyum.
Ada, silakan masuk.”
Sebuah ruang tamu kecil dengan beberapa kursi rotan. Beberapa foto tampak berjajar di dinding. Dan yang membuatku heran, sebuah kaligrafi bertulisan arab tergantung di atas pintu tengah.   
Hanya beberapa menit kemudian orang yang kucari sudah duduk di hadapanku. Yang membuatku makin tak percaya adalah orangnya tidak aneh tapi bersih. Masih ada bekas-bekas air di mukanya saat menemuiku. Aku tak tahu itu bekas wudhu atau bukan.
Ada apa, Dik ?”
Aku tergagap. “Maaf, Pak.” Rasanya susah sekali untuk mengutarakan maksudku.
“Ya, silahkan. Tidak usah sungkan-sungkan.” Orang itu berusaha menenangkanku. Kata-katanya begitu menyejukkan.
Aku berusaha menceritakan masalahku seperti yang biasanya aku lakukan terhadap dukun-dukun yang lain. Tapi yang keluar malah pertanyaan yang di luar rencanaku.
“Maaf, Pak. Apa benar bapak pernah memasang iklan di sebuah majalah terbitan ibukota beberapa waktu yang lalu ?” 
“Maksud Adik ?”
“Iklan paranormal itu lho, Pak.”
“Oh, itu.” Ada nada geli dalam kata-katanya. “Sebenarnya saya tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang saya iklankan. Itu hanyalah cara saya untuk menyadarkan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan dan datang ke dukun untuk menyelesaikan permasalahannya.” Beliau menghela nafas sebentar. “Dengan metode ini saya bisa berdakwah. Saling tolong menolong dalam kebaikan dan kesabaran.”
“Jadi, bapak tidak berpraktek seperti yang bapak iklankan dalan majalah ?”
“Tentu saja tidak. Orang yang sedang kesulitan, akan datang kepada saya, nah kemudian akan saya anjurkan untuk kembali kepada Tuhan, bukan mencari bantuan kepada dukun dan sejenisnya. Kalau perlu akan saya berikan amalan amalan yang bisa membuat mereka bersabar dan menerima semua takdir Tuhan, yang baik ataupun jelek. Saya tak pernah memaksa, keputusan ada di tangan mereka sendiri.”
Ada kelegaan dalam hatiku mendengar penjelasan Beliau. Untuk beberapa saat aku membisu. Dan agak tersentak ketika beliau bertanya kepadaku.
“Terus apa keperluan adik datang kemari ?”
Dengan tenang aku menceritakan apa yang telah kuperbuat selama ini. Bagaimana caranya saya mengadu domba dukun yang telah kutemui dan telah kusaksikan proses kematiannya.
“Lalu apa bedanya adik dengan mereka ? Apa adik merasa sebagai Tuhan yang berhak menghakimi dan menghukum atas kesalahan  yang mereka perbuat ?”
“Tapi maksud saya baik, Pak.” Saya berusaha membela diri. “Dengan cara ini saya bisa mengurangi tingkah laku sirik atau perbuatan musrik yang selama ini sudah mendarah daging di negeri ini.”
“Dengan cara yang tidak di ridhoi Allah ? Mungkinkah perbuatan baik dicapai dengan cara yang kurang baik ?”
Aku terdiam.
“Semua yang terjadi di negeri ini adalah sebagian dari ujian bagi kita. Orang-orang diuji dengan adanya masalah atau kesulitan yang dialami. Yang sabar akan mendapat pahala yang besar di sisi Allah. Sedangkan yang tidak sabar, akan mencari segala cara untuk menyelesaikan masalahnya, apapun caranya, termasuk melalui jasa paranormal atau dukun. Kalaupun berhasil, mereka akan mendapat predikat musrik karena menyekutukan Allah. Kalau gagal, mereka juga tetap musrik karena telah berputus asa dari rahmat Allah. Apa sih artinya keberhasilan di dunia yang fana ini dibandingkan dengan pahala yang besar di sisi Allah di akherat kelak ? Alangkah bodohnya kita kita kalau mau menukar akherat yang kekal abadi hanya dengan sekedar keberhasilan yang sangat kecil nilainya di dunia ini ? Apa artinya sembuh dari penyakit kalau harus  ditukar dengan siksaan Allah ? Apa artinya terbebas dari masalah di dunia yang tak berarti ini kalau harus diganti dengan neraka Allah ?”
Aku tak bisa berkata kata. Lidahku kelu. Mulutku beku.
“Bertobatlah. Apapun yang telah terjadi pasrahkan segalanya kepada Allah. Karena Allah maha pengampun. Karena hanya Allah yang mengetahui segala isi hati. Tentang banyaknya paranormal ataupun dukun yang berkeliaran di luar sana mencari mangsa, mari kita do’akan agar mereka sadar dan kembali kepada Allah. Hanya Allah yang berhak mengadili dan menghukum mereka.”  
Ada penyesalan dalam hatiku. Perasaanku meluap, memenuhi relung-relung jiwaku yang terdalam. Terasa berat. Makin berat hingga tak terasa kelopak mataku penuh dengan air mata. Yang kemudian mengalirkan air mata dari sudut-sudutnya. Pipiku basah.
Beliau menepuk bahuku perlahan. Terasa menenangkan. Perasaanku terasa damai. Perasaan bangga yang selama ini kumiliki karena telah berhasil menumpas kemusrikan dan pelakunya, hangus sudah. Hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Lalu diterbangkan angin entah kemana. Ya, aku memang tak berhak mengadili siapapun. Hanya Allahlah yang berhak mengadili dan menghukum. Lagipula akupun tak pernah tahu apa isi hati seseorang. Mungkin saja yang kuanggap jelek ternyata menyimpan atau menyembunyikan kebaikan di dalamnya. Bisa jadi yang kelihatan baik, justru menyimpan kebusukan di dalamnya.
Aku pulang dengan perasaan ringan. Masih kuingat kata-kata beliau ketika aku pamit dan meninggalkan rumahnya. “Tujuanmu memang mulia. Namun akan lebih baik bila cara yang dipakai dengan cara yang mulia pula.”


@@@

   

No comments:

Post a Comment