HANCURNYA KEKUATAN MISTIK
Cerpen : Agus Prihandono
Malam baru saja menjelang, warna memerah di ufuk barat seakan menandakan bahwa hari tak lagi siang. Sebuah fatamorgana membayang di balik kumpulan pepohonan yang rimbun. Memberkaskan sebentuk siluet yang begitu indah. Suara lolongan anjing sayup sayup di kejauhan, menebarkan aroma mistik di sekitarnya. Hawa dingin menusuk tulang, membuatku tanpa sengaja mengepalkan jari-jari mengusir hawa dingin yang menyeruak masuk, menembus ke dalam bajuku.
Setelah beberapa kali menyibakkan ilalang yang menutupi jalan setapak yang harus kulalui, akhirnya pondok yang kucari kelihatan juga. Sebuah rumah yang tampak menyeramkan, Bangunan tua dengan halaman luas yang ditumbuhi ilalang di sana-sini. Aku ragu, mungkinkah tempat seperti itu ada penghuninya, dinding batunya kelihatan kumuh dibeberapa bagian. Aku mendekati pintunya yang kecoklatan di beberapa bagian termakan usia.
Setelah menguatkan diri sejenak, aku mengetuk
pintu di depanku. Sekali tiada jawaban, baru ketukan yang kedua dan agak keras,
aku mendapatkan sahutan dari dalam.
Suara serak dan berat.
“Siapa
?”
“Suroto
dari kota ,
mbah.”
“Hmm
….. masuk dan tutup lagi pintunya.”
Begitu
pintu terbuka, asap kemenyan dan bau dupa terasa menusuk hidungku. Begitu
menyesakkan. Aku melihat seorang kakek tua berumur sekitar delapan puluhan
tahun, duduk di depan tungku kecil yang penuh dengan arang yang membara. Ada keris yang tergeletak
di sisi kanan meja. Kalung yang besar dengan bandul kecil yang menyerupai
tengkorak manusia tergantung di lehernya.
Kelihatannya mbah Dipo
sedang melaksanakan sesuatu. Aku melihat mbah Dipo memutar tangannya di atas
dupa yang membara sambil mengeluarkan kata-kata yang tak bisa kumengerti,
setelah beberapa saat dengan cepat tangan kanannya menyambar keris yang berada
di depannya, kemudian ditancapkan ke sebuah boneka kecil yang berada di
genggaman tangan kirinya. Ada
darah menetes dari luka di tempat tusukan keris padahal aku yakin itu hanya
boneka dari kain. Darah yang begitu hitam dan kental. Aku bergidik ngeri.
Sepertinya boneka itu melawan, bergerak
seperti orang yang sedang melepaskan diri dari beban berat yang menindihnya.
Setelah beberapa saat kemudian boneka itu diam tak bergerak. Suasana sepi. Dan
mati. Ada
kelelahan yang tampak di raut wajah mbah Dipo. Aku yakin mbah Dipo baru saja
melakukan pertarungan mistis yang berat.
Mulutnya komat-kamit sebentar lalu menghembuskan nafas berat. Sambil
menyeka keringat yang bercucuran dari keningnya, mbah Dipo memandangku.
“Ada perlu apa nak Suroto
datang ke sini ?”
“Anu
mbah… mau minta tolong.”
“Apa
yang bisa aku bantu nak Suroto ?”
Aku
menjelaskan permasalahan yang sedang kuhadapi kepada mbah Dipo. Mbah Dipo
mengangguk sambil memandang tajam ke arahku.
“Resikonya
berat lho, nak Suroto ?”
“Tak
perduli, mbah, yang penting dendam keluarga ini terbalaskan.”
Mbah
Dipo sekali lagi memandangku. Sesekali terdengar helaan nafas panjang dan
berat.
“Konsekuensinya
berat lho, berat bagi nak Suroto dan juga berat bagi aku sendiri. Soalnya kalau
ternyata orang yang nak Suroto ceritakan mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari
aku, maka kirimannya bisa kembali dan menghantam aku sendiri. Dan kalau
ternyata aku nggak kuat, maka .. ” Mbah Dipo menghela nafas berat. Tanpa
menyelesaikan ucapannya.
“Aku yakin mbah Dipo mampu
menghadapinya.“
Mbah Dipo menatapku.
Pandangan menyelidik.
“Baiklah, kita lakukan
karena mbah, pantang menolak permintaan.”
Aku menarik nafas lega.
Buntalan yang sudah aku siapkan dari rumah aku keluarkan. Sesuai pesan mbah
Joyo kemarin dan aku berikan kepada mbah Dipo.
“Mbah, ini ubo rampenya.”
“Taruh di atas meja.”
Aku meletakkan buntalan yang
aku bawa ke atas meja, termasuk sebuah foto yang aku gunting dari majalah.
Setelah mempersiapkan segala
sesuatunya. Mbah Dipo memejamkan mata. Aku melihat tangannya bergetar. Sambil memandang foto yang aku berikan, Mbah
Dipo menambahkan menyan ke dalam tungku. Asapnya begitu putih, bergulung
gulung, menebar aroma wangi. Menyesakkan. Aku melihat meja di depan mbah Dipo bergetar, hawa
panas terasa menyebar di seluruh ruangan, hingga tanpa sadar aku mengusap
leherku yang berkeringat. Mbah Dipo mengucapkan suatu bahasa yang tak
kumengerti, memutar tangan kanannya
berkali-kali di udara, mengacungkan jari-jari kedua tangannya ke atas, dan
dengan cepat mencabut keris yang tertancap di meja, memutarnya beberapa kali
searah jarum jam di atas asap kemenyan. Ada
keringat yang menetes dari kening mbah Dipo. Tangan kiri meraih boneka kecil
yang ada di atas meja sebelah kirinya. Menggenggamnya dengan erat seolah tak
ingin terlepas. Mulut mbah Dipo semakin keras mengucapkan mantera-mantera, lalu
perlahan keris di tangan kanannya di arahkan ke boneka di genggaman tangan
kirinya. Kali ini di ubun-ubun. Aku melihat kilatan berwarna merah di ujung
keris. Semakin merah. Seperti terbakar. Aku bergidik ngeri ketika dari
ubun-ubun boneka keluar asap putih pekat saat ujung keris semakin menusuk
semakin dalam. Udara semakin panas, lalu perlahan kembali dingin, semakin
dingin, semakin dingin menusuk tulang. Anehnya kening mbah Dipo tampak mengucurkan
keringat. Keringat darah, merah dan semakin merah. Aku memejamkan mata, tak
tahan menyaksikan kejadian itu. Dan baru membuka mataku saat kudengar suara
suitan melengking bersama desisan aneh. Kemudian seperti suara benda keras
terjatuh. Mataku terbelalak menyaksikan pemandangan di depanku. Mbah Dipo
terjatuh di atas lantai dengan mulut menganga dan mata membelalak seakan tak
percaya apa yang sedang menimpanya. Sebatang keris yang tadi digunakannya untuk
ritual, tertancap tepat di jantungnya. Ada
darah mengalir dari lukanya. Yang membuatku ngeri, warna darahnya bukan merah
tetapi hitam. Hitam kelam. Sedangkan boneka yang tadi ditusuknya tergeletak di
meja. Tak ada tanda bekas tusukan keris di kepalanya seperti yang kusaksikan
tadi. Bersih tak ada bekas apa-apa.
Aku segera membereskan
perlengkapanku. Lalu dengan diam-diam pergi meninggalkan tempat mbah Dipo.
Masih sempat kulihat kucing hitam yang tadi. Kali ini hanya suara lirih yang
keluar dari mulutnya. Dan seperti kedatanganku yang diam-diam, maka kepulanganku
saat ini juga kuusahakan tidak ada yang tahu.
@@@
Jam beker di kamarku
berdering tepat jam empat. Sayup sayup suara adzan subuh kudengar masuk ke
telingaku. Suaranya begitu sahdu. Dan terasa indah memasuki relung-relung
dadaku. Aku menggeliat, ada kelegaan dalam hatiku. Aku melihat lembar catatan
di atas mejaku. Banyak nama-nama yang tertulis di dalamnya. Nama-nama dukun
yang kukumpulkan selama beberapa waktu, kalau nggak salah sekitar 3 tahun. Agak
sulit mengumpulkan data itu, karena banyak sekali dukun-dukun yang tidak terus
terang mengakui kalau dia mengikuti aliran hitam. Mereka tidak mau kalau
disebut sebagai pemuja setan. Kepada pelanggannya, mereka mengaku hanyalah
paranormal. Atau apalah yang penting bukan dukun. Kalau kurang yakin dengan
informasi yang kudapat, aku kadang menyurati mereka. Atau kalau tak terlalu
jauh, aku mencoba mencari tahu sendiri dengan mendatangi rumahnya. Dari jawaban
mereka atau hasil pengamatanku, baru kuputuskan, dukun ini termasuk golongan
putih atau hitam. Sampai sekarang masih ada beberapa data yang belum
kuputuskan, mereka termasuk golongan yang mana.
Diantara nama-nama itu ada
yang telah aku coret. Coretan merah. Termasuk nama mbah Dipo. Sebagai tanda
kalau dukun itu sudah tidak ada lagi. Aku menghela nafas panjang. Masih banyak
yang harus aku lakukan. Begitu banyak nama yang masih belum tercoret. Datanya
masih acak-acakan. Aku agak kesulitan dalam mengurutkan nama-nama dukun dari
yang paling lemah sampai ke yang paling sakti. Sebenarnya tanpa aku urutkan, aku
sudah bisa melaksanakan rencanaku. Dengan cara mengacak nomor urut berdasarkan
tempat tinggalnya, diselang seling dari yang jauh sampai yang terdekat, untuk
mengurangi kecurigaan mereka. Layaknya sebuah kompetisi, aku tinggal mengadu
kekuatan dari dukun dari nomer urut satu dengan nomer dua, kemudian yang
bertahan masuk ke babak berikutnya, dukun nomer tiga diadu dengan nomer empat,
pemenangnya masuk babak berikutnya. Begitu dan seterusnya sampai nanti
tinggal empat dukun yang masuk
pertarungan akhir. Kemudian tinggal satu sebagai pemenang terakhir. Masalahnya
nanti adalah siapa yang akan membinasakan dukun yang jadi pemenang kompetisi
ini. Tapi aku tak perduli, keinginanku untuk mengurangi kemusrikan mengalahkan
segalanya. Apapun caranya.
@@@
Rumah itu sangat sederhana.
Amat sangat sederhana. Hanya sebuah rumah kecil dengan taman-taman yang asri di
sekelilingnya. Keadaan ini membuatku ragu. Dukun atau paranormal yang tinggal
di gunung atau pedesaan, seperti mbah Dipo, biasanya mempunyai rumah besar yang
menyeramkan atau terisolir dari tetangganya. Mungkin hanya pengakuan atas
kesaktian atau rasa takut yang diinginkan dari lingkungannya. Tapi dukun atau
paranormal yang tinggal di kota ,
biasanya mempunyai rumah yang mewah dengan beberapa kendaraan di garasinya.
Pagar tinggi dengan halaman luas. Bahkan ada yang sampai masuk acara televisi.
Tapi persamaan antara dukun yang tinggal di pedesaan atau di kota adalah mereka mempunyai penampilan atau nama julukan yang aneh. Dukun
yang kudatangi kali ini adalah salah satu diantara dukun yang masih harus
kuselidiki dulu datanya. Termasuk dukun putih atau hitam. Pemuja setan atau
sekedar dukun bohong-bohongan.
Aku memencet bel yang ada di
sisi kanan pintu. Masih sempat kubaca nama yang tertera di atas pintu masuk.
Aku yakin aku tak salah tujuan.
Seorang gadis kecil membuka
pintu. “Mencari siapa ?”
“Bapak ada ?” Tanyaku sambil
tersenyum.
“Ada , silakan masuk.”
Sebuah ruang tamu kecil
dengan beberapa kursi rotan. Beberapa foto tampak berjajar di dinding. Dan yang
membuatku heran, sebuah kaligrafi bertulisan arab tergantung di atas pintu
tengah.
Hanya beberapa menit
kemudian orang yang kucari sudah duduk di hadapanku. Yang membuatku makin tak
percaya adalah orangnya tidak aneh tapi bersih. Masih ada bekas-bekas air di
mukanya saat menemuiku. Aku tak tahu itu bekas wudhu atau bukan.
“Ada apa, Dik ?”
Aku tergagap. “Maaf, Pak.”
Rasanya susah sekali untuk mengutarakan maksudku.
“Ya, silahkan. Tidak usah
sungkan-sungkan.” Orang itu berusaha menenangkanku. Kata-katanya begitu
menyejukkan.
Aku berusaha menceritakan
masalahku seperti yang biasanya aku lakukan terhadap dukun-dukun yang lain.
Tapi yang keluar malah pertanyaan yang di luar rencanaku.
“Maaf, Pak. Apa benar bapak
pernah memasang iklan di sebuah majalah terbitan ibukota beberapa waktu yang
lalu ?”
“Maksud Adik ?”
“Iklan paranormal itu lho,
Pak.”
“Oh, itu.” Ada nada geli dalam kata-katanya. “Sebenarnya
saya tidak bersungguh-sungguh dengan apa yang saya iklankan. Itu hanyalah cara
saya untuk menyadarkan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan dan datang
ke dukun untuk menyelesaikan permasalahannya.” Beliau menghela nafas sebentar.
“Dengan metode ini saya bisa berdakwah. Saling tolong menolong dalam kebaikan
dan kesabaran.”
“Jadi, bapak tidak
berpraktek seperti yang bapak iklankan dalan majalah ?”
“Tentu saja tidak. Orang
yang sedang kesulitan, akan datang kepada saya, nah kemudian akan saya anjurkan
untuk kembali kepada Tuhan, bukan mencari bantuan kepada dukun dan sejenisnya.
Kalau perlu akan saya berikan amalan amalan yang bisa membuat mereka bersabar
dan menerima semua takdir Tuhan, yang baik ataupun jelek. Saya tak pernah
memaksa, keputusan ada di tangan mereka sendiri.”
“Terus apa keperluan adik
datang kemari ?”
Dengan tenang aku
menceritakan apa yang telah kuperbuat selama ini. Bagaimana caranya saya
mengadu domba dukun yang telah kutemui dan telah kusaksikan proses kematiannya.
“Lalu apa bedanya adik
dengan mereka ? Apa adik merasa sebagai Tuhan yang berhak menghakimi dan
menghukum atas kesalahan yang mereka
perbuat ?”
“Tapi maksud saya baik,
Pak.” Saya berusaha membela diri. “Dengan cara ini saya bisa mengurangi tingkah
laku sirik atau perbuatan musrik yang selama ini sudah mendarah daging di
negeri ini.”
“Dengan cara yang tidak di
ridhoi Allah ? Mungkinkah perbuatan baik dicapai dengan cara yang kurang baik
?”
Aku terdiam.
“Semua yang terjadi di
negeri ini adalah sebagian dari ujian bagi kita. Orang-orang diuji dengan
adanya masalah atau kesulitan yang dialami. Yang sabar akan mendapat pahala
yang besar di sisi Allah. Sedangkan yang tidak sabar, akan mencari segala cara
untuk menyelesaikan masalahnya, apapun caranya, termasuk melalui jasa
paranormal atau dukun. Kalaupun berhasil, mereka akan mendapat predikat musrik
karena menyekutukan Allah. Kalau gagal, mereka juga tetap musrik karena telah
berputus asa dari rahmat Allah. Apa sih artinya keberhasilan di dunia yang fana
ini dibandingkan dengan pahala yang besar di sisi Allah di akherat kelak ?
Alangkah bodohnya kita kita kalau mau menukar akherat yang kekal abadi hanya
dengan sekedar keberhasilan yang sangat kecil nilainya di dunia ini ? Apa
artinya sembuh dari penyakit kalau harus
ditukar dengan siksaan Allah ? Apa artinya terbebas dari masalah di
dunia yang tak berarti ini kalau harus diganti dengan neraka Allah ?”
Aku tak bisa berkata kata.
Lidahku kelu. Mulutku beku.
“Bertobatlah. Apapun yang
telah terjadi pasrahkan segalanya kepada Allah. Karena Allah maha pengampun.
Karena hanya Allah yang mengetahui segala isi hati. Tentang banyaknya
paranormal ataupun dukun yang berkeliaran di luar sana mencari mangsa, mari kita do’akan agar
mereka sadar dan kembali kepada Allah. Hanya Allah yang berhak mengadili dan
menghukum mereka.”
Beliau menepuk bahuku
perlahan. Terasa menenangkan. Perasaanku terasa damai. Perasaan bangga yang
selama ini kumiliki karena telah berhasil menumpas kemusrikan dan pelakunya,
hangus sudah. Hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Lalu diterbangkan angin
entah kemana. Ya, aku memang tak berhak mengadili siapapun. Hanya Allahlah yang
berhak mengadili dan menghukum. Lagipula akupun tak pernah tahu apa isi hati
seseorang. Mungkin saja yang kuanggap jelek ternyata menyimpan atau
menyembunyikan kebaikan di dalamnya. Bisa jadi yang kelihatan baik, justru
menyimpan kebusukan di dalamnya.
Aku pulang dengan perasaan
ringan. Masih kuingat kata-kata beliau ketika aku pamit dan meninggalkan
rumahnya. “Tujuanmu memang mulia. Namun akan lebih baik bila cara yang dipakai
dengan cara yang mulia pula.”
@@@
No comments:
Post a Comment