Total Pageviews

Friday, December 23, 2011

AKU CUMA MENGAMBIL SEDIKIT LHO, TAPI....


Ketemu lagi dengan pembaca yang setia. Kali ini ada pengalaman lain yang ingin aku sampaikan. Ceritanya begini, dulu setelah lulus kuliah, aku mendapatkan pekerjaan di kota K, di sebuah kantor distributor obat pertanian. Sebagai tenaga administrasi kantor dengan gaji yang pas-pasan meskipun aku sebenarnya lulusan S1 di kota M. Hal ini disebabkan karena waktu melamar kerja aku cuma menggunakan ijazah SMA. Sesuai dengan iklan lowongan kerja, yang dibutuhkan hanyalah seorang lulusan SMA atau yang sederajad. Namun demikian karena keadaan aku terpaksa harus menerimanya. Alhamdulillah aku masih bersyukur karena banyak teman-teman yang lulus bersamaku, belum dapat kerja. Kebersamaan dan perasaan senasib di antara teman-teman kantor membuatku betah bekerja di sana.



Satu tahun setelahnya, aku memberanikan diri membina biduk rumah tangga dengan teman kuliahku dulu satu angkatan dari kota M, dengan perjanjian, domisili tetap di kota M karena istriku adalah perempuan satu-satunya di keluarga dan diharapkan tinggal dekat dengan ibu dan bapaknya ( mertuaku ). Akhirnya aku tetap kerja di kota K, dan pulang seminggu sekali ke kota M. Pulang bersama maling ( malam minggu setelah tutup kantor ) dan berangkat bersama maling ( Senin pagi sebelum subuh ). Semua rutinitas itu kujalani tanpa perasaan capek. Hari hari berlalu seperti biasa. Yang nggak biasa adalah di saat masih bujang dulu, semua uang yang kuperoleh masih kugunakan untuk keperluanku sendiri. Nah setelah membina rumah tangga, kebutuhanku menjadi dobel, satu untuk menghidupi diriku sendiri di kota K dan di sisi lain aku harus menafkahi kebutuhan istriku di kota M. Dengan kondisi keuangan yang amburadul ini, tak terasa aku sudah bekerja hampir 4 tahun. Lalu bagaimana aku bisa bertahan mengatasi persoalan keuangan yang kembang kempis seperti itu ? Ceritanya begini ( oh ya tolong cerita ini jangan ditiru tetapi diambil hikmahnya saja ), sebagai administrasi kantor tentu saja aku bertanggung jawab atas kelancaran operasional kantor. Semua pembelian, pengiriman, transaksi ke dalam dan ke luar kantor menjadi wewenangku. Nah inilah yang aku mainkan, mark up anggaran, komisi yang kupungut dari transaksi dengan pihak luar, dll. Yang penting aku dapat ceperan ( hasil sampingan ) untuk menambal kebutuhan hidupku. Tapi aku tetap punya prinsip bahwa untuk keluarga harus uang yang halal. Jadinya aku tak pernah memakai uang gajiku untuk keperluanku sendiri, tapi utuh kuserahkan buat istri di rumah. Kondisi ini terus berlangsung sampai beberapa tahun selama aku bekerja di kantor tersebut. Tapi anehnya, sampai aku pindah kerja ke tempat yang lain, masih di kota yang sama, aku tak punya apapun, baik berupa tabungan ataupun inventaris yang lain, aku juga nggak sempat punya rumah sendiri karena aku cuma kost di rumah warga sekitar kantorku. Padahal kalau dihitung banyak sekali hasil sampingan yang aku peroleh selama kerja di sana. Tapi nggak ngerti kemana uang yang selama ini kudapat. Di tempat kerja yang baru, kelakuanku tak jauh beda dengan di tempat yang lama. Sebagai tanaga lapangan dengan inventaris kendaraan roda empat tentu saja obyekanku semakin banyak di bandingkan dengan di tempat yang dulu. Tapi lagi-lagi sampai beberapa tahun kehidupanku tetap biasa-biasa saja. Hasil yang selama ini kudapat nggak ketahuan kemana arahnya. Habis begitu saja. Sampai suatu ketika perusahaan yang aku ikuti bangkrut dan membuatku kena PHK . Ujung-ujungnya aku harus pulang kampung. Dengan hanya membawa uang pesangan yang jumlahnya tak bisa dibilang besar.
Ternyata alhamdulillah istriku di rumah termasuk istri yang pandai mengatur keuangan, sehingga saat aku pulang karena terkena PHK, kami masih mampu mengelola sebuah toko kelontong kecil. Modalnya adalah dari uang gaji bulanan yang rutin aku berikan padanya ( yang jumlahnya tidak terlalu besar ) sejak tahun pertama perkawinan kami. Semua uang yang aku berikan padanya dimasukkan buat modal belanja toko ( kami masih tinggal di rumah mertua sehingga kebutuhan sehari-hari masih jadi satu dengan mereka). Sampai sekarang kami masih mampu bertahan hidup dengan mengelola toko itu. Dan alhamdulillah sudah mampu membangun rumah dari usaha toko itu. Toko kelontong yang tidak terlalu besar dan barokah karena dimodali dari uang yang barokah juga.

Setelah beberapa tahun , aku mulai merenung dan memikirkan kenapa penghasilanku yang besar dari hasil tidak halal dan yang tidak jelas arahnya ( mark up anggaran, korupsi kecil-kecilan , komisi, dll ) yang pernah aku lakukan selama bekerja di kota K itu tidak memberiku apa-apa selain mampu bertahan hidup saja ? Jawabnya adalah karena uang yang kuperoleh adalah bukan uang yang halal. Uang haram tidak akan membawa barokah. Ini nyata lho pembaca, karena dulu tiap kali aku baru dapat uang panas, selalu ada saja masalah yang harus kuhadapi. Masalah anak sakit dan biaya rumah sakit yang menguras kantong. Mobil rusak atau ban kendaraan meletus. Ditilang polisi. dll. Kalau dipikir-pikir, biaya yang harus kukeluarkan selalu lebih besar dari uang yang baru saja kudapat. Banyak cara yang menyebabkan uang itu habis dengan cepat. Kalau nggak musibah, ya kejadian yang menghabiskan uang seperti main-main ke diskotik, karaoke, dll, walhasil uang yang kudapat dengan mudah dengan mudah pula ku hambur-hamburkan. Uang yang mudah didapat, akan mudah pula hilangnya. Lalu kalau apa yang kudapat dengan cara yang haram ternyata membuatku kehilangan yang lebih besar lagi, plus dosa dihadapan Allah SWT, kenapa harus kulakukan ?

Saya yakin pembaca sudah paham apa yang aku maksudkan. Jadi tidak ada kata "aku cuma mengambil sedikit lho, tapi..." yang jelas adalah berapapun yang kita dapatkan dengan cara yang tidak halal, maka tidak ada barokah di dalamnya. Semoga kisah ini bisa diambil manfaatnya. Amin.


Agus Prihandono

3 comments:

  1. Terima kasih komentarnya, semoga bermanfaat.

    ReplyDelete
  2. sub'hanallah,itu memang nyata benar.saya pun mengalami,sbg pedagang kadang saya dulu mengambil keuntungan terlalu besar.secara logika harusnya hasil yg saya dapat dalam satu musim ratusan juta,tp tdk hasilnya nol.tanpa berkah tdk ada kenyamanan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Nur kholis, Sekali lagi "yang penting barokahnya", jumlah atau nilai adalah nomor dua. Semoga kita bisa memetik hikmah dari cerita ini. Amiin ya robbal 'alamin.

      Delete